Sabtu, 14 Juni 2014

Ku Gendong Sampai Akhir Hayat

Buat sobat yang sedang online, baik
pria maupun Wanita. Mari coba kita
baca, renungkan dan resapi tulisan di
bawah ini.
Suatu malam ketika aku kembali ke
rumah, istriku menghidangkan makan
malam untukku. Sambil memegang
tangannya aku berkata, "Saya ingin
mengatakan sesuatu kepadamu." Istriku
lalu duduk di samping sambil
menemaniku menikmati makan malam
dengan tenang. Tiba-tiba aku tidak
tahu harus memulai percakapan dari
mana. Kata-kata rasanya berat keluar
dari mulutku.
Aku ingin sebuah perceraian di antara
kami, karena itu aku beranikan diriku.
Nampaknya dia tidak terganggu sama
sekali dengan pembicaraanku, dia
malah balik bertanya kepadaku dengan
tenang, "Mengapa?" Aku menolak
menjawabnya, ini membuatnya sungguh
marah kepadaku. Malam itu kami tidak
saling bertegur sapa. Dia terus
menangis dan menangis. Aku tahu
bahwa dia ingin tahu alasan di balik
keinginanku untuk bercerai.
Dengan sebuah rasa bersalah yang
dalam, aku membuat sebuah
pernyataan persetujuan untuk bercerai
dan dia dapat memiliki rumah kami,
mobil, dan 30% dari keuntungan
perusahaan kami. Dia sungguh marah
dan merobek kertas itu. Wanita yang
telah menghabiskan 10 tahun hidupnya
bersamaku itu telah menjadi orang
yang asing di hatiku. Aku minta maaf
kepadanya karena dia telah membuang
waktunya 10 tahun bersamaku, untuk
semua usaha dan energi yang diberikan
kepadaku, tapi aku tidak dapat
menarik kembali apa yang telah
kukatakan kepada Jane, wanita
simpananku, bahwa aku sungguh
mencintainya. Istriku menangis lagi.
Bagiku tangisannya sekarang tidak
berarti apa-apa lagi. Keinginanku untuk
bercerai telah bulat.
Hari berikutnya, ketika aku kembali ke
rumah sedikit larut, kutemukan dia
sedang menulis sesuatu di atas meja di
ruang tidur kami. Aku tidak makan
malam tapi langsung pergi tidur karena
ngantuk yang tak tertahankan akibat
rasa capai sesudah seharian bertemu
dengan Jane. Ketika terbangun, kulihat
dia masih duduk di samping meja itu
sambil melanjutkan tulisannya. Aku
tidak menghiraukannya dan kembali
meneruskan tidurku.
Pagi harinya, dia menyerahkan syarat-
syarat perceraian yang telah ditulisnya
sejak semalam kepadaku. Dia tidak
menginginkan sesuatupun dariku, tetapi
hanya membutuhkan waktu sebulan
sebelum perceraian. Dia memintaku
dalam sebulan itu, kami berdua harus
berjuang untuk hidup normal layaknya
suami istri. Alasannya sangat
sederhana. Putra kami akan menjalani
ujian dalam bulan itu sehingga dia
tidak ingin mengganggunya dengan
rencana perceraian kami. Selain itu,
dia juga meminta agar aku harus
menggendongnya sambil mengenang
kembali saat pesta pernikahan kami.
Dia memintaku untuk menggendongnya
selama sebulan itu dari kamar tidur
sampai muka depan pintu setiap pagi.
Aku pikir dia sudah gila. Akan tetapi,
biarlah kucoba untuk membuat hari-
hari terakhir kami menjadi indah demi
perceraian yang kuinginkan, aku pun
menyetujui syarat-syarat yang dia
berikan. Aku menceritakan kepada
Jane tentang hal itu. Jane tertawa
terbahak-bahak mendengarnya.
"Terserah saja apa yang menjadi
tuntutannya tapi yang pasti dia akan
menghadapi perceraian yang telah kita
rencanakan," kata Jane.
Ada rasa kaku saat menggendongnya
untuk pertama kali, karena kami
memang tak pernah lagi melakukan
hubungan suami istri belakangan ini.
Putra kami melihatnya dan bertepuk
tangan di belakang kami. "Wow, papa
sedang menggendong mama." Sambil
memelukku dengan erat, istriku
berkata, "Jangan beritahukan
perceraian ini kepada putra kita." Aku
menurunkannya di depan pintu. Dia
lalu pergi ke depan rumah untuk
menunggu bus yang akan membawanya
ke tempat kerjanya, sedangkan aku
mengendarai mobil sendirian ke
kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua
melakukannya dengan lebih mudah. Dia
merapat melekat erat di dadaku. Aku
dapat mencium dan merasakan
keharuman tubuhnya. Aku menyadari
bahwa aku tidak memperhatikan
wanita ini dengan seksama untuk
waktu yang agak lama. Aku menyadari
bahwa dia tidak muda seperti dulu
lagi, ada bintik-bintik kecil di
wajahnya, rambutnya pun sudah mulai
beruban. Namun entah kenapa, hal itu
membuatku mengingat bagaimana
pernikahan kami dulu.
Pada hari keempat, ketika aku
menggendongnya, aku mulai merasakan
kedekatan. Inilah wanita yang telah
memberi dan mengorbankan 10 tahun
kehidupannya untukku. Pada hari
keenam dan ketujuh, aku mulai
menyadari bahwa kedekatan kami
sebagai suami istri mulai tumbuh
kembali di hatiku. Aku tentu tidak
mengatakan perasaan ini kepada Jane.
Suatu hari, aku memperhatikan dia
sedang memilih pakaian yang hendak
dia kenakan. Dia mencoba beberapa
darinya tapi tidak menemukan satu
pun yang cocok untuknya. Dia sedikit
mengeluh, "Semua pakaianku terasa
terlalu besar untuk tubuhku sekarang."
Aku mulai menyadari bahwa dia
semakin kurus dan itulah sebabnya
kenapa aku dapat dengan mudah
menggendongnya. Aku menyadari
bahwa dia telah memendam banyak
luka dan kepahitan hidup di hatinya.
Aku lalu mengulurkan tanganku dan
menyentuh kepalanya.
Tiba-tiba putra kami muncul dan
berkata," Papa, sekarang saatnya untuk
menggendong dan membawa mama."
Bagi putraku, melihatku menggendong
dan membawa mamanya menjadi
peristiwa yang penting dalam
hidupnya. Istriku mendekati putra kami
dan memeluk erat tubuhnya penuh
keharuan. Aku memalingkan wajahku
dari peristiwa yang bisa
mempengaruhi dan mengubah
keputusanku untuk bercerai.
Aku lalu mengangkatnya dengan kedua
tanganku, berjalan dari kamar tidur
kami, melalui ruang santai sampai ke
pintu depan. Tangannya melingkar erat
di leherku dengan lembut dan sangat
romantis layaknya suami istri yang
harmonis. Aku pun memeluk erat
tubuhnya, seperti momen hari
pernikahan kami 10 tahun yang lalu.
Akan tetapi tubuhnya yang sekarang
ringan membuatku sedih.
Pada hari terakhir, aku
menggendongnya dengan kedua
lenganku. Aku susah bergerak meski
cuma selangkah ke depan. Putra kami
telah pergi ke sekolah. Aku
memeluknya erat sambil berkata, "Aku
tidak pernah memperhatikan selama
ini hidup pernikahan kita telah
kehilangan keintiman satu dengan yang
lain."
Aku mengendarai sendiri kendaraan ke
kantorku, mampir ke tempat Jane.
Melompat keluar dari mobilku tanpa
mengunci pintunya. Begitu cepatnya
karena aku takut jangan sampai ada
sesuatu yang membuatku mengubah
pikiranku. Aku naik ke lantai atas. Jane
membuka pintu dan aku langsung
berkata padanya. "Maaf Jane, aku
tidak ingin menceraikan istriku."
Jane memandangku penuh tanda tanya
bercampur keheranan dan kemudian
menyentuh dahiku dengan jarinya. Aku
mengelak dan berkata, "Maaf Jane,
aku tidak akan bercerai. Hidup
perkawinanku terasa membosankan
karena dia dan aku tidak memaknai
setiap momen kehidupan kami, bukan
karena kami tidak saling mencintai satu
sama lain. Sekarang aku menyadari
sejak aku menggendongnya sebagai
syaratnya itu, aku ingin terus
menggendongnya sampai hari kematian
kami."
Jane sangat kaget mendengar
jawabanku. Dia menamparku dan
kemudian membanting pintu dengan
keras. Aku tidak menghiraukannya. Aku
menuruni tangga dan mengendarai
mobilku pergi menjauhinya. Aku
singgah di sebuah toko bunga di
sepanjang jalan itu, aku memesan
bunga untuk istriku. Gadis penjual
bunga bertanya apa yang harus kutulis
di kartunya. Aku tersenyum dan
menulis, "Aku akan menggendongmu
setiap pagi sampai kematian
menjemput."
Petang hari ketika aku tiba di rumah,
dengan bunga di tanganku, sebuah
senyum menghias wajahku. Aku berlari
hanya untuk bertemu dengan istriku
dan menyerahkan bunga itu sambil
merangkulnya untuk memulai sesuatu
yang baru dalam perkawinan kami.
Tapi apa yang kutemukan? Istriku telah
meninggal di atas tempat tidur yang
telah kami tempati bersama 10 tahun
pernikahan kami.
Aku baru tahu kalau istriku selama ini
berjuang melawan kanker ganas yang
telah menyerangnya berbulan-bulan
tanpa pengetahuanku karena
kesibukanku menjalin hubungan asmara
dengan Jane. Istriku tahu bahwa dia
akan meninggal dalam waktu yang
relatif singkat. Meskipun begitu, dia
ingin menyelamatkanku dari pandangan
negatif yang mungkin lahir dari putra
kami karena aku menginginkan
perceraian, karena reaksi kebodohanku
sebagai seorang suami dan ayah, untuk
menceraikan wanita yang telah
berkorban selama sepuluh tahun yang
mempertahankan pernikahan kami dan
demi putra kami.
Betapa berharganya sebuah pernikahan
saat kita bisa melihat atau mengingat
apa yang membuatnya berharga. Ingat
ketika dulu perjuangan yang harus
dilakukan, ingat tentang kejadian-
kejadian yang telah terjadi di antara
kalian, ingat juga tentang janji
pernikahan yang telah dikatakan.
Semuanya itu harusnya hanya berakhir
saat maut memisahkan.
Sekecil apapun dari peristiwa atau hal
dalam hidup sangat mempengaruhi
hubungan kita. Itu bukan tergantung
pada uang di bank, mobil atau
kekayaan apapun namanya. Semuanya
ini bisa menciptakan peluang untuk
menggapai kebahagiaan tapi sangat
pasti bahwa mereka tidak bisa
memberikan kebahagiaan itu dari diri
mereka sendiri. Suami-istrilah yang
harus saling memberi demi
kebahagiaan itu.
Karena itu, selalu dan selamanya
jadilah teman bagi pasanganmu dan
buatlah hal-hal yang kecil untuknya
yang dapat membangun dan
memperkuat hubungan dan keakraban
di dalam hidup perkawinanmu.
Milikilah sebuah perkawinan yang
bahagia. Kamu pasti bisa
mendapatkannya.

NN
---------- Pesan terusan ----------
Dari: "Asri Gushafiana" <asrigushafiana@ymail.com>
Tanggal: 28 Apr 2011 15.20
Subjek: untuk setiap hati yang kosong..
Kepada: <asri.gushafiana.update@blogger.com>
Cc: <asrigushafiana@gmail.com>

Dalam lamunan selalu berbincang sendiri
tidak ada yang paham apa yang ada di relung hatii nya yang terdalam

Wahai Sang Maha Pencipta...

bilakah dia berada dalam kekosongan, sadarkan ia untuk mengingat MU
jangan biarkan dia berjalan pada jalur yang berduri panas..
Jagalah tatapannya untuk khusyu tertunduk pada setiap waktu-Mu tanpa tunda.

Hanya Engkaulah kekasih hatinya yang Hak..

Mungkin sakitnya ini karena semata Engkau mencintainya, lebih dari cinta siapapun.

Tuhan Sang Pemilik Keagungan Alam..

hadiahkan kebahgiaan untuk nya..

Ya Allah..
Engkau maha pendengar segala pinta tanpa batasan..
jangan biarkan dia berada dalam kekosongan yang tak terbatas.
sirami air syurgamu untuk membasuh segala keangukah dan kealfaannya kepada Mu..

* ighfirlana YA Robb...Aamiin..*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar